DENGAN ZEOLIT ALAM, SIRAJUDDIN MUSTOFA MENINGKATKAN KADAR ETANOL 95% MENJADI 99,9-100% SEHINGGA SIAP MENGISI TANGKI MOBIL. HARGA SEKILO ZEOLIT ALAM HANYA RP3.000, JAUH LEBIH MURAH KETIMBANG ZEOLIT SINTETIS RP175.000. SELAMA INI PRODUSEN TAK MELIRIK ZEOLIT ALAM KARENA LUASAN PORI-PORI BERAGAM.
Dua tahun terakhir bioetanol naik daun sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari beragam bagian tanaman seperti umbi singkong, biji sorgum, atau molase alias limbah produksi gula tebu. Hasil penyulingan berbagai bahan itu hanya menghasilkan bioetanol berkadar maksimal 95-96%, artinya terdapat 5-4% air.
Padahal, salah satu syarat bioetanol menjadi bahan bakar harus berkadar minimal 99,6%. Jika dipaksakan mengisi tangki mobil, bioetanol berkadar kurang dari 99,6% itu merusak mesin kendaraan. Menurut Dr Muhammad Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi, meski produsen menyuling ulang bioetanol 95%, tetap saja kadar etanol tak meningkat.
Itu lantaran bioetanol bersifat azeotropi, fraksi uap air dan fraksi etanol sama besar, yakni 0,5. 'Walau dipanaskan sampai suhu berapa pun, kadar etanol tak akan meningkat,' kata Arif. Artinya, pada titik tertentu air sulit pergi dari bioetanol sehingga kadar etanol tetap 95%. Oleh karena itu biasanya produsen meningkatkan etanol dengan kapur gamping atau zeolit sintetis. Sebab, keduanya mampu mengikat air dalam bioetanol. Produsen merendam 1 kg kapur dalam 2 kg larutan bioetanol sehingga kadar etanol terkatrol.
Celakanya penggunaan kapur gamping atau zeolit sintetis mengakibatkan kehilangan hasil masing-masing 30% dan 20%. Sebagian bioetanol ikut terserap gamping atau zeolit sintetis dan sulit dikeluarkan lagi. Sudah begitu produsen sulit mencari zeolit sintetis karena masih impor. 'Kita tak bisa membeli sekilo atau dua kilo zeolit sintetis. Minimal 400 kg,' kata Arif.
Bakar karbon
Kondisi itu mendorong Sirajuddin Mustofa, produsen bioetanol di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, memanfaatkan zeolit alam. Alasannya sederhana, zeolit alam murah dan mudah diperoleh. Kelemahan zeolit alam yang mengandung silikat alumina, luas pori-pori beragam: dari 2 hingga 10 A (amstrong). Sedangkan luas pori-pori zeolit sintetis seragam, 3 A setara 0,3 nanometer.
Sirajuddin yang dibantu Hadi Suratno mengayak zeolit alam dengan ukuran 60 mesh. Hasil pengayakan pertama hanya 70%. Sirajuddin mengayak ulang zeolit itu dengan ukuran 80 mesh. Ia memperoleh hasil 40%. Untuk memperlancar proses penyerapan air, Sirajuddin mengkalsinasi atau membakar zeolit alam. MenurutM Rosjidi MS, ahli zeolit dari Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi, zeolit mengandung karbon organik.
'Karbon perlu dihilangkan untuk meningkatkan porositas zeolit alam,' ujar alumnus University of Swansea, Inggris, itu. Untuk menghilangkan karbon perlu pembakaran pada suhu 300oC selama 1-2 jam. Pembakaran bertujuan menghilang-kan karbon organik. Zeolit alam yang semula kehijauan berubah warna menjadi cokelat muda. Sirajuddin lantas mengaktivasi zeolit alam. Caranya dengan merendam zeolit alam dalam larutan asam sulfat selama 3 jam. Aktivasi itu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan zeolit alam menarik air.
Menurut Rosjidi asam sulfat digunakan dengan konsentrasi sangat rendah. Zeolit alam kemudian direndam dalam air selama 2 jam untuk membersihkan asam sulfat. Sirajuddin mengeringkan zeolit pada suhu 200oC hingga siap digunakan. Menurut Sirajuddin total jenderal biaya produksi zeolit alam mencapai Rp3.000 per kg. Itu jauh lebih murah ketimbang zeolit sintetis yang mencapai Rp175.000; batu gamping Rp35.000.
Pintu kecil
Dalam penggunaan sederhana, 1 kg zeolit alam direndam dalam 2 liter bioetanol. Menurut Arif Yudiarto ukuran bioetanol mencapai 4 A; air, 0,28 A. Zeolit yang berukuran 3 A hanya menarik air yang ukurannya jauh lebih kecil. Mekanisme penyerapan air diilustrasikan seperti ini. Bioetanol 95%-di dalamnya ada etanol dan air-adalah tamu. Sedangkan zeolit alam adalah pintu rumah.
Karena ukuran 'tubuh' bioetanol lebih besar ketimbang 'pintu' zeolit, maka etanol tak dapat memasukinya. Adapun air yang berukuran lebih kecil, mampu memasuki 'pintu' zeolit. Singkat kata, zeolit alam hanya mempersilakan masuk air lantaran ukurannya lebih kecil. Usai digunakan zeolit alam dapat dipakai ulang setelah dikeringkan. Dengan pengeringan, air yang terserap pun keluar.
Namun, menurut Sirajuddin sistem perendaman tak efisien untuk skala industri rumah tangga. Sebab, waktunya relatif lama: 12 jam. Oleh karena itu pria kelahiran Makassar 7 Januari 1954 itu mendesain mesin dehidrasi yang bekerja cepat, cuma sejam. Prinsipnya seperti orang dehidrasi yang kehilangan air. Mesin dehidrasi dilengkapi zeolit alam yang menarik air dari bioetanol.
Dampaknya bioetanol berkadar 95% mengalami 'dehidrasi' alias kehilangan air sehingga kadar etanol melambung hingga 99,5-100%. Desain mesin berbahan besi nirkarat itu relatif sederhana. Di bagian bawah terdapat tangki penampung bioetanol 95%. Kapasitas tangki 20 kg. Bioetanol dipanaskan dengan gas hingga suhu 95oC. Akibat pemanasan, etanol dan air menguap melewati sebuah kolom.
Di kolom itu terdapat 20 kg butiran zeolit alam. Uap air panas tertangkap zeolit, sedangkan etanol lolos dari 'pintu' zeolit hingga menetes. Karena air tertangkap, kadar etanol pun meningkat hingga 99-100%. Menurut Rosjidi, zeolit alam lebih mudah menangkap uap air panas ketimbang air (dalam sistem perendaman). Sebab, uap panas bersifat jenuh disertai tekanan, sedangkan air bersifat kapiler.
Awet
Ketimbang zeolit sintetis, zeolit alam lebih awet. Sirajuddin membuktikan hingga 3 Maret 2009, ia sudah 15 kali menggunakan zeolit alam yang sama secara berulang-ulang untuk menyerap air. Meski digunakan berkali-kali, kondisi zeolit dan biotenol yang dihasilkan tetap bagus. Sedangkan, zeolit sintetis digunakan 3 kali saja sudah pecah.
Keistimewaan lain, dengan zeolit alam tingkat kehilangan bioetanol hanya 5-12%. Itu jauh lebih kecil ketimbang tingkat kehilangan dengan zeolit sintetis yang mencapai 20%. Toh, kehilangan yang 12% itu bisa diambil lagi dengan pemanasan pada suhu 150-200oC. Akibat pemanasan, terjadi penguapan dan kondensasi sehingga bioetanol yang terjebak dalam zeolit bakal keluar.
Selain itu zeolit alam mampu menangkap minyak fusel dalam bioetanol. Minyak fusel terbentuk saat fermentasi bahan baku bioetanol. Dalam fermentasi, ragi Saccharomyces cerevisiae bukan hanya membentuk glukosa. Ia juga mengeluarkan enzim zymase yang mengubah metanol menjadi minyak fusel. Minyak fusel yang kadarnya amat kecil dalam bioetanol biasanya licin dan membuat mesin korosif. Kemampuan menangkap minyak fusel karena luas pori-pori sebagian zeolit alam lebih besar daripada 4A. (Sardi Duryatmo)
Dua tahun terakhir bioetanol naik daun sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari beragam bagian tanaman seperti umbi singkong, biji sorgum, atau molase alias limbah produksi gula tebu. Hasil penyulingan berbagai bahan itu hanya menghasilkan bioetanol berkadar maksimal 95-96%, artinya terdapat 5-4% air.
Padahal, salah satu syarat bioetanol menjadi bahan bakar harus berkadar minimal 99,6%. Jika dipaksakan mengisi tangki mobil, bioetanol berkadar kurang dari 99,6% itu merusak mesin kendaraan. Menurut Dr Muhammad Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi, meski produsen menyuling ulang bioetanol 95%, tetap saja kadar etanol tak meningkat.
Itu lantaran bioetanol bersifat azeotropi, fraksi uap air dan fraksi etanol sama besar, yakni 0,5. 'Walau dipanaskan sampai suhu berapa pun, kadar etanol tak akan meningkat,' kata Arif. Artinya, pada titik tertentu air sulit pergi dari bioetanol sehingga kadar etanol tetap 95%. Oleh karena itu biasanya produsen meningkatkan etanol dengan kapur gamping atau zeolit sintetis. Sebab, keduanya mampu mengikat air dalam bioetanol. Produsen merendam 1 kg kapur dalam 2 kg larutan bioetanol sehingga kadar etanol terkatrol.
Celakanya penggunaan kapur gamping atau zeolit sintetis mengakibatkan kehilangan hasil masing-masing 30% dan 20%. Sebagian bioetanol ikut terserap gamping atau zeolit sintetis dan sulit dikeluarkan lagi. Sudah begitu produsen sulit mencari zeolit sintetis karena masih impor. 'Kita tak bisa membeli sekilo atau dua kilo zeolit sintetis. Minimal 400 kg,' kata Arif.
Bakar karbon
Kondisi itu mendorong Sirajuddin Mustofa, produsen bioetanol di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, memanfaatkan zeolit alam. Alasannya sederhana, zeolit alam murah dan mudah diperoleh. Kelemahan zeolit alam yang mengandung silikat alumina, luas pori-pori beragam: dari 2 hingga 10 A (amstrong). Sedangkan luas pori-pori zeolit sintetis seragam, 3 A setara 0,3 nanometer.
Sirajuddin yang dibantu Hadi Suratno mengayak zeolit alam dengan ukuran 60 mesh. Hasil pengayakan pertama hanya 70%. Sirajuddin mengayak ulang zeolit itu dengan ukuran 80 mesh. Ia memperoleh hasil 40%. Untuk memperlancar proses penyerapan air, Sirajuddin mengkalsinasi atau membakar zeolit alam. MenurutM Rosjidi MS, ahli zeolit dari Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi, zeolit mengandung karbon organik.
'Karbon perlu dihilangkan untuk meningkatkan porositas zeolit alam,' ujar alumnus University of Swansea, Inggris, itu. Untuk menghilangkan karbon perlu pembakaran pada suhu 300oC selama 1-2 jam. Pembakaran bertujuan menghilang-kan karbon organik. Zeolit alam yang semula kehijauan berubah warna menjadi cokelat muda. Sirajuddin lantas mengaktivasi zeolit alam. Caranya dengan merendam zeolit alam dalam larutan asam sulfat selama 3 jam. Aktivasi itu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan zeolit alam menarik air.
Menurut Rosjidi asam sulfat digunakan dengan konsentrasi sangat rendah. Zeolit alam kemudian direndam dalam air selama 2 jam untuk membersihkan asam sulfat. Sirajuddin mengeringkan zeolit pada suhu 200oC hingga siap digunakan. Menurut Sirajuddin total jenderal biaya produksi zeolit alam mencapai Rp3.000 per kg. Itu jauh lebih murah ketimbang zeolit sintetis yang mencapai Rp175.000; batu gamping Rp35.000.
Pintu kecil
Dalam penggunaan sederhana, 1 kg zeolit alam direndam dalam 2 liter bioetanol. Menurut Arif Yudiarto ukuran bioetanol mencapai 4 A; air, 0,28 A. Zeolit yang berukuran 3 A hanya menarik air yang ukurannya jauh lebih kecil. Mekanisme penyerapan air diilustrasikan seperti ini. Bioetanol 95%-di dalamnya ada etanol dan air-adalah tamu. Sedangkan zeolit alam adalah pintu rumah.
Karena ukuran 'tubuh' bioetanol lebih besar ketimbang 'pintu' zeolit, maka etanol tak dapat memasukinya. Adapun air yang berukuran lebih kecil, mampu memasuki 'pintu' zeolit. Singkat kata, zeolit alam hanya mempersilakan masuk air lantaran ukurannya lebih kecil. Usai digunakan zeolit alam dapat dipakai ulang setelah dikeringkan. Dengan pengeringan, air yang terserap pun keluar.
Namun, menurut Sirajuddin sistem perendaman tak efisien untuk skala industri rumah tangga. Sebab, waktunya relatif lama: 12 jam. Oleh karena itu pria kelahiran Makassar 7 Januari 1954 itu mendesain mesin dehidrasi yang bekerja cepat, cuma sejam. Prinsipnya seperti orang dehidrasi yang kehilangan air. Mesin dehidrasi dilengkapi zeolit alam yang menarik air dari bioetanol.
Dampaknya bioetanol berkadar 95% mengalami 'dehidrasi' alias kehilangan air sehingga kadar etanol melambung hingga 99,5-100%. Desain mesin berbahan besi nirkarat itu relatif sederhana. Di bagian bawah terdapat tangki penampung bioetanol 95%. Kapasitas tangki 20 kg. Bioetanol dipanaskan dengan gas hingga suhu 95oC. Akibat pemanasan, etanol dan air menguap melewati sebuah kolom.
Di kolom itu terdapat 20 kg butiran zeolit alam. Uap air panas tertangkap zeolit, sedangkan etanol lolos dari 'pintu' zeolit hingga menetes. Karena air tertangkap, kadar etanol pun meningkat hingga 99-100%. Menurut Rosjidi, zeolit alam lebih mudah menangkap uap air panas ketimbang air (dalam sistem perendaman). Sebab, uap panas bersifat jenuh disertai tekanan, sedangkan air bersifat kapiler.
Awet
Ketimbang zeolit sintetis, zeolit alam lebih awet. Sirajuddin membuktikan hingga 3 Maret 2009, ia sudah 15 kali menggunakan zeolit alam yang sama secara berulang-ulang untuk menyerap air. Meski digunakan berkali-kali, kondisi zeolit dan biotenol yang dihasilkan tetap bagus. Sedangkan, zeolit sintetis digunakan 3 kali saja sudah pecah.
Keistimewaan lain, dengan zeolit alam tingkat kehilangan bioetanol hanya 5-12%. Itu jauh lebih kecil ketimbang tingkat kehilangan dengan zeolit sintetis yang mencapai 20%. Toh, kehilangan yang 12% itu bisa diambil lagi dengan pemanasan pada suhu 150-200oC. Akibat pemanasan, terjadi penguapan dan kondensasi sehingga bioetanol yang terjebak dalam zeolit bakal keluar.
Selain itu zeolit alam mampu menangkap minyak fusel dalam bioetanol. Minyak fusel terbentuk saat fermentasi bahan baku bioetanol. Dalam fermentasi, ragi Saccharomyces cerevisiae bukan hanya membentuk glukosa. Ia juga mengeluarkan enzim zymase yang mengubah metanol menjadi minyak fusel. Minyak fusel yang kadarnya amat kecil dalam bioetanol biasanya licin dan membuat mesin korosif. Kemampuan menangkap minyak fusel karena luas pori-pori sebagian zeolit alam lebih besar daripada 4A. (Sardi Duryatmo)
apa benar nanti hasilnya akan benar-benar murni 100%?
ReplyDeletesama mau tanya,bukankah kalau kita mau buat bioetanol butuh enzym kan, ada gag ya zat yang bia mengantikan peran enzym tersebut?kan harganya mahal
Mohon info untuk mambuat alat distilasi nira menjadi cairan yng mengandung alkohol dg kadar prosentase yg bs dikontol, bagaimana model alat distilasinya, terimakasih
ReplyDelete